GANGGUAN
BERBICARA AKIBAT FAKTOR RESONANSI (BIBIR SUMBING) PADA ANAK USIA 7-8 TAHUN
Disusun guna memenuhi tugas akhir
semester
mata kuliah Psikolinguistik Bahasa Jawa
Disusun oleh :
Nama
|
: Yoke Ana Marlina
|
NIM
|
: 2601411062
|
Rombel
|
: 3
|
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer
yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri(Kridalaksana). Bahasa yang yang
dimaksud adalah bahasa yang keluar dari alat ucap manusia. Jawaban tradisional
atas pertanyaan apakah fungsi bahasa adalah bahwa bahasa merupakan alat
interaksi sosial, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep,
atau juga perasaan (Chaer, 1995). Dengan demikian organ alat ucap pada manusia
harus normal dan sempurna agar bunyi bermakna yang keluar dapat digunakan untuk
interaksi sosial.
Ketidaksempurnaan pada alat ucap manusia menyebabkan
terjadinya gangguan berbicara, yakni bahasa yang keluar dari alat ucap manusia
menjadi kurang dimengerti atau bahkan tidak dimengerti oleh mitra tutur
sehingga pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan tidak dapat
tersampaikan. Gangguan berbicara dapat
disebabkan oleh faktor resonansi. Gangguan akibat faktor resonansi menyebabkan
suara yang dihasilkan menjadi bersengau, misalnya pada anak sumbing.
Bibir sumbing merupakan kondisi rongga mulut, yakni
tidak memiliki langit-langit keras sampai belahan bibir atas sejak lahir. Pada
anak sumbing, suaranya bersengau karena rongga mulut dan rongga hidung yang
digunakan untuk berkomunikasi melalui efek-efek di langit-langit keras,
sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu.
1.2
Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah
diungkapkan pada latar belakang terdapat
fenomena
gangguan berbicara akibat faktor resonansi. Penelitian ini memiliki pokok permasalahan yaitu:
1.
Bagaimanakah
bentuk ujaran pada anak usia 7-8 tahun yang memiliki gangguan berbicara akibat
faktor resonansi?
2.
Bagaimana
pengaruh dari gangguan berbicara akibat faktor resonansi pada anak usia 7-8
tahun terhadap kehidupan sehari-hari?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini
bertujuan untuk:
1.3 Memperoleh
kejelasan deskriptif bentuk ujaran pada anak usia 7-8 tahun yang memiliki
gangguan berbicara akibat faktor resonansi.
2.3 Mengetahui pengaruh dari gangguan berbicara akibat
faktor resonansi pada anak usia 7-8 tahun terhadap kehidupan sehari-hari.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini
merupakan penelitian mengenai tuturan anak sumbing yang diharapkan dapat digunakan sebagai referensi
dalam kajian psikolinguistik mengenai gangguan berbicara.
2.
Manfaat Praktis
Kegunaan
praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran deskripsi mengenai bentuk
bentuk ujaran pada anak usia 7-8
tahun yang memiliki gangguan berbicara akibat faktor resonansi. Penelitian
ini juga bermanfaat agar dapat memahami anak yang mengalami gangguan berbicara
akibat faktor resonansi.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Psikolinguistik
Psikolinguistik menguraikan proses-proses psikologi
yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya
pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan bahasa itu diperoleh oleh
manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Salma Cazahu, 1973)
2.2
Gangguan Berbahasa
Gangguan
berbahasa secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni gangguan akibat
faktor medis dan gangguan akibat faktor faktor lingkungan sosial. Gangguan
akibat faktor medis merupakan gangguan yang diakibatkan gangguan yang
diakibatkan oleh kelainan fungsi otak maupun kelainan alat-alat bicara.
2.3
Gangguan Mekanisme Berbicara
Gangguan
mekanisme berbicara merupakan ketidaksempurnaan ujaran yang diucapkan
manusia karena adanya kelainan pada pita
suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan
paru-paru.
2.4
Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat
faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada
orang sumbing, misalnya, suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga
mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di
langit – langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi
terganggu. Hal ini trjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit
– langit lunak (velum). Rongga langit – langit itu tidak memberikan resonansi
yang seharusnya, sehingga suarnya menjadi besengau. Penderita penyakit
miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah)
sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi Penelitian
Pada penelitian ini, penulis mengambil
objek penelitian berupa sample anak berusia 7-8 tahun yang mengalami gangguan
berbicara akibat faktor resonansi, yakni sumbing sebagai variebel utama dan
sample anak berusia 7-8 tahun yang berbicara secara normal.
3.2
Pendekatan Penelitian
Berdasarkan
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni berusaha untuk
mendeskripsikan bentuk ujaran pada anak
usia 7-8 tahun yang memiliki gangguan berbicara akibat faktor resonansi.
Pada
tahap pertama yakni observasi mengunakanan teknik semak, catat non cakap yang
penulisannya berdasarkan transkripsi fonetis. Pada tahapan selanjutnya
penelitian ini menindaklajuti dengan studi lapangan teknik semak−catat−cakap
pada responden, cakap yang dilakukan pada tahap ini berupa percakapan langsung
dengan percakapan terarah yang bermaksud untuk mengetahui bentuk ujaran pada anak usia 7-8 tahun yang memiliki gangguan
berbicara akibat faktor resonansi penelitian ini menggunakan teknik rekam dengan media telepon
seluler. Teknik akhir dalam pengumpulan data yaitu menggunakan wawancara.
3.3
Data dan Sumber Data
Paneliti menentukan ujaran
anak yang mengalami gangguan berbicara akibat resonansi pada usia 7-8 tahun
sebagai data. Kemudian, data yang berupa ujaran lisan akan direkap ke dalam
bahasa tulis, sehingga akan dapat dianalisis. Sumber data adalah subjek dari mana data
diperoleh. Sumber data penelitian ini adalah ujaran anak berusia 7-8 tahun yang
dianggap relevan yang diambil secara acak
.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana
yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian gangguan berbicara akibat
faktor resonansi pada anak 7-8 tahun ini
pada tahap pengumpulan data menggunakan metode pupuan lapangan yakni
semak−catat−non cakap pada langkah awalnya.
3.5
Teknik Analisis Data
Metode analisis data
penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan ntuk
mengungkap gejala-gejala atau keadaan yang terjadi pada subjek penelitian.
Keadaan yang akan dideskripsikan pada penelitian ini adalah bentuk ujaran anak
berusia 3-4 tahun yang mengalami gangguan berbicara akibat faktor resonansi.
Setelah data didapat
dan direkap menjadi ujaran bentuk tulis, maka tahap berikutnya adalah tahap
analisis data. Pemnganalisisan data penelitian ini menggunakan metode analisis
deskriptif. Dimana data dijelaskan sesuai dengan teori gangguan berbicara
akibat faktor resonansi. Setelah data dianalisis maka kemudian diadakan
penyimpulan hasil penelitian.
3.6
Teknik Pemaparan Hasil Analisis Data
Setelah
data pada tahap observasi, dan penganalisisan terpenuhi dan penelitian telah mendapatkan validasi
atas kebenarannya. Analisis data dapat dipaparkan dalam bentuk
diskripsi.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1
Bentuk Ujaran Pada Anak Usia 7-8 Tahun Yang Memiliki
Gangguan Berbicara Akibat Faktor Resonansi.
Anak yang menjadi objek penelitian adalah
anak yang memiliki bibir sumbing, namun saat ini telah dioperasi. Bibir atas
sampai langit-langit atas sudah tertutup rapat, namun sampai sekarang masih
terdapat gangguan berbicara ketika mengucapkan kata-kata yang mengandung N
(nasal), fonem /s/ ; /r/ ; /k/ ; /c/ ; / g/ ; /j/ ; /l/ ; dan /q/.
Pada penelitian ini ditemui tuturan sengau
dari anak sumbing sebagai objek penelitian Gangguan Berbicara Akibat Faktor
Resonansi, berikut data yang diperoleh.
Kutipan
Peneliti : Mas
Ata nderek ning mbah gelem rak?
Ata : Me-/l/-u,
/t/-api ngen-/t/-eni mamah shik.
Melu, tapi
ngenteni mamah sik.
Peneliti : Lha
mamah ning ndi ta?
Ata : Mamah
/j/-e-/k/ ning pashal:
Mamah jek ning
pasar.
Peneliti : Lho,
yah mene kok durung kondur?
Ata : Bia-/s/-a pa-/l/-ing do-/l/-a-/n/
/k/-a-lo /k/-an-/c/-a /k/-an-/c/-a ne
Biasa paling dolan karo kanca-kancane.
Kutipan dialog
diatas merupakan dialong antara peneliti dan objek penelitian. Fonem-fonem yang
diberi tanda /../ pada transkripsi bahasa lisan tersebut diatas berarti fonem
tersebut terdengar sengau ketika diucapkan oleh anak yang memiliki bibir
sumbing.
4.1
Pengaruh Gangguan Berbicara Akibat Faktor Resonansi
Pada Anak Usia 7-8 Tahun Terhadap Kehidupan Sehari-hari.
Objek penelitian yang merupakan anak
laki-laki usia 8 tahun jika dilihat dari penampilan, tidak terlihat adanya rasa
minder atau malu dengan gangguan berbicaranya. Objek penelitian tidak mengalami
kesulitan dalam belajar di sekola, bermain dengan teman, maupun hubungannya dengan
anggota keluarga lain.
Objek penelitian tetap dapat
bersosialisasi dengan lancar dengan warga sekolah. Hal ini dibuktikan dengan
banyak teman yang suka bermain dengan dirinya serta objek penelitian adalah
pribadi yang ekstrovert, suka bergaul, dan mudah bergaul. Hal serupa nampak
pula pada hubungannya dengan teman sebaya di lingkungan non sekolah.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri
bahwa ketidak sempurnaan alat bicara membuatnya agak kesulitan untuk
berkomunikasi walaupun bibirnya telah tertutup rapat karena operasi. Gangguan
berbicaranya membuat orang-orang yang berkomunikasi dengannya harus
memperhatikan dengan fokus.
BAB V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian
yang telah di sampaikan di bagian depan serta uraian yang telah dijabarkan pada
bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan bahwa anak yang memiliki bibir
sumbing akan mengeluarkan bunyi sengau ketika mengucapkan fonem yang berproses
di langit-langit atas, yakni langit-langit lunak sampai langit-langit keras. Simpulan
lain yang dapat dikemukakan adalah bunyi sengau akibat bibir sumbing tidak
menjadikan objek peneliti menjadi pribadi yang minder dan rendah diri.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian
Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta:
Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar