ALIH
KODE DAN CAMPUR KODE DALAM WACANA INTERAKSI JUAL BELI PEDAGANG ETNIS CINA
Disusun guna memenuhi tugas akhir mata kuliah
Sosiolinguistik
Disusun
Oleh
Nama : Yoke Ana Marlina
NIM : 2601411062
Rombel : 3
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
Bahasa
sebagai alat komunikasi selalu mengalami perkembangan. Perkembangan bahasa
dapat berupa perubahan atau pergeseran. Pergeseran bahasa dapat muncul sebagai
akibat adanya faktor kebahasaan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat tutur
yang terbuka, artinya, yang mempuntai hubungan dengan masyarakat tutur lain,
tentu akan mengalami kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan
sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai
akibat adanya kontak bahasa tersebut diantaranya adalah kedwibahasaan yang menyebabkan adanya alih kode dan campur kode.
Secara sosiolinguistik, kedwibahasaan diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian.
Masyarakat Jawa etnis Cina, seperti etnis lainnya,
secara umum memiliki kemampuan berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Namun,
terdapat keunikan pada tuturan etnis Cina yang berprofesi sebagai pedagang
masih sering menggunakan bahasa Cina. Bahasa Cina yang dimaksud merupakan bahasa
Cina dari harga barang dan jumlah barang. Hal ini menyebabkan terjadinya campur
kode dan alih kode.
Sebagaimana yang telah
diungkapkan pada latar belakang terdapat
peristiwa
campur kode dan alih kode pedagang etnis Cina. Penelitian ini memiliki pokok permasalahan yaitu:
1.
Bagaimana wujud alih
kode dan campur kode transaksi jual beli pedagang etnis Cina?
2.
Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya campur
kode dan alih kode transaksi jual
beli pedagang etnis Cina?
Berdasarkan rumusan masalah
yang telah dikemukakan, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Memperoleh kejelasan deskriptif wujud alih kode dan campur kode transaksi jual beli
pedagang etnis Cina.
2.
Memperoleh kejelasan deskriptif faktor penyebab
terjadinya campur kode dan alih kode transaksi
jual beli pedagang etnis Cina.
LANDASAN TEORI
Pada penelitian ini, teori yang dijadikan
sebagai dasar meliputi konsep-konsep tentang (1) Sosiolinguistik, (2) Kedwibahasaan,
(3) Peristiwa tutur, (4) alih kode, dan (5) campur kode
2.1.1
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik
merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu
empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk mengetahui pengertian
sosiolinguistik harus memahami makna sosiologi dan linguistik.
Sosiologi
adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat,
dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada didalam masyarakat.
Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang antardisiplin
yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Ada
beberapa pendapat ahli mengenai sosiolinguistik, diantaranya:
Kridalaksana
(1978:2), menyatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari ciri dan pelbagai
variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi
variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.
J.A. Fishman
(1972:4), menyatkan sosiolinguistik
adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa,
dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan
saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.
2.1.2
Kedwibahasaan
Istilah
kedwibahasaan secara harfiah berarti penggunaan dua bahasa atau dua kode
bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa agar dapat menggunakan dua bahasa, seseorang harus
menguasai bahasa itu. Pertama, seseorang harus menguasi bahasa ibunya
(disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya
(disingkat B2).
Bloomfield
dalam bukunya yang terkenal Language
(1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Namun pendapat dari ahli lain,
yakni Haugen (1961) dwibahasawan tahu akan dua bahasa atau lebih, dan seorang
dwibahasawan tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahsa itu, cukup kalau
dapat memahaminya.
Kedwibahasaan adalah
peristiwa pemakaian dua atau lebih bahasa secara bergantian oleh seorang
penutur. Sedangkan individu yang melakukan penuturan dengan memakai dua bahasa
atau lebih disebut dwibahasawan. Sedangkan pada proses pemerolehannya disebut
dengan pendwibahasawan.
2.1.3 Peristiwa Tutur
Peristiwa
tutur adalah berlangsungnya atau terjadi interaksi linguistik dalam suatu ujaran
atau lebih, yang melibatkan dua pihak yakni penutur dan mitra tutur dengan satu
pokok tuturan dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer
dan Agustina, 2010: 47). Dalam peristiwa tutur Hymes
memaparkan komponen tutur sebagai
penentu pemakaian ragam bahasa.
Komponen
tutur memiliki kaitan dengan sosiolinguistik, yakni berkenaan dengan siapa
berbicara dalam bahasa apa, kepada siapa, tentang apa seperti ulasan berikut.
Komponen tutur Hymes memiliki akronim SPEAKING, yakni (1) Setting and Scene, yang merarti
segalahal yang berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. (2) Participants adalah phak-pihak yang
terlibat dalam peraturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa,
atau pengirim dan penerima. (3) Ends,
merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. (4) Act Sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. (5) Key, mengacu pada nada, cara, dan
semangat dimana suatu pesan disampaikan. (6) Instrumentalities, mengacu pada
jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegram
dan telfon. (7) Norm of Interaction and
Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi. (8) Genre, mengacu pada jenis bentuk
penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya. (Chaer dan Agustina,
2010 : 48-49).
2.1.5 Alih Kode
Pada dasarnya alih kode merupakan penggantian kode
yang berupa bahasa atau ragam bahasa dari kode yang satu ke kode yang lain pada
waktu seseorang bertutur. Menurut Kridalaksana (1984), pengertian penggantian
yang dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan peran serta atau situasi lain. Dalam
kenyataan sehari-hari, ternyata bahwa ragam bahasa lebih cenderung memakai alih
kode, hal ini disebabkan oleh faktor kemudahan dalam mendiskripsi suatu
peristiwa tutur dengan menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa
tutur.
2.1.5.1
Campur
Kode
Di dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan
ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi
kebahasaan. Peranan maksudnya yang menggunakan bahasa tersebut, sedangkan
fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan
tuturannya. Seorang penutur yang banyak menguasai bahasa akan mempunyai
kesempatan bercampur kode lebih banyak daripada penutur yang hanya menguasai
satu atau dua bahasa saja. Tetapi tidak berarti bahwa penutur yang menguasai
lebih banyak bahasa selalu banyak bercampur kode. Sebab yang hendak dicapai
oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan kebahasaannya.
Ciri-ciri yang lain adanya gejala campur kode ialah
bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip didalam bahasa
lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu
dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya menduduki satu
fungsi.
Beberapa ahli
sosiolinguistik yang memberi batasan campur kode antara lain (Suwito 1985 : 76)
memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan
saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara
konsisten.
Nababan
(1984 : 32) menyatakan bahwa campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua
atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu
dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Adapun ciri yang
menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal.
Misalnya ada seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa Indonesia banyak
disisipi unsur-unsur bahasa Jawa / derah atau sebaliknya bahasa daerah yang
disisipkan pada bahasa Indonesia. Maka seorang penutur tersebut bercampur kode
ke dalam peristiwa tersebut, sehingga akan menimbulkan apa yang disebut bahasa
Indonesia yang ke daerah-daerahan atau ke Jawa-Jawaan.
Campur kode memiliki dua tipe yaitu, campur kode
kedalam (inner code mixing) dan
campur kode keluar (outer code mixing)
(Suwito, 1985: 76). Campur kode kedalam adalah campur kode yang terjadi karena
penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
variasinya. Campur kode keluar adalah campur kode yang terjadi karena
penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asing.
2.1.5.2
Macam-macam
Campur Kode
Berdasarkan
unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, campur kode dapat dibedakan
menjadi enam macam, yaitu : 1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, (2)
penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, (3) penyisipan unsur-unsur yang
berwujud bentuk baster, (4) penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan
kata, (5) penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan, (6) penyisipan
unsur-unsur yang berwujud klausa.
Ø Berikut
ini peristiwa wujud campur kode penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata:
Mangka hari
Senin ada tugas yang harus dikumpulkan.
Kata
mangka menunjukkan bahasa Jawa sedangkan hari Senin ada tugas yang harus
dikumpulkan menunjukkan kalimat bahasa Indonesia. Kalimat tersebut tergolong
campur kode ke dalam karena seorang penutur menyisipkan unsur-unsur daerah ke
dalam bahasa Indonesia. (Suwito 1978 : 78)
Ø Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud frasa:
Persahabatan saya sudah kadhung apik dengan
dia.
Kode
bahasa Jawa kadhung apik berwujud frasa, sedangkan sederetan kata yang
lain menunjukkan kode bahasa Indonesia.
Ø Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud bentuk baster. Baster merupakan hasil perpaduan dua
unsur bahasa yang berbeda, membentuk satu makna
(Suwito, 1985:76). Baster adalah bentuk yang
tidak asli, artinya bentuk ini terjadi
karena perpaduan antara afiksasi bahasa
Indonesia dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa lain, atau sebaliknya
afiksasi dari bahasa lain yang dipadukan dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa
Indonesia.
- Unsur Baster Berwujud Prefiks
Prefiks adalah imbuhan
yang diletakkan di bagian muka kata.
Contoh
: Dia itu kalau ngedance
keren banget.
- Unsur Baster Berwujud Sufiks
Sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian
belakang kata dasar (Alwi, dkk., 2003 : 31).
Contoh : Ini dhuwitnya
siapa ya?
Ø Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud perulangan kata:
Kamu
itu sudah dijelaskan masih tanya-tanya lagi.
Ø Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud ungkapan
Alon-alon ya Bu asal kelakon, nanti barang
yang dicari
akan
ketemu
Campur
kode dengan unsur bahasa Jawa alon-alon asal kelakon
menunjukkan
si penurut cukup kuat rasa kejawaannya atau identitas
pribadinya
masyarakat Jawa.
Ø Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud klausa
Pemimpin yang bijaksana akan bertindak ing
ngarso sing tuladha ing
madya
mangun karsa, tut wuri handayani.
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini
dikemukakan (1) pendekatan penelitian, (2) data dan sumber data, (3) teknik
pengumpulan data, (4) teknik analisis data, dan (5) teknik penyajian hasil
analisis data.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan maksud untuk memberikan hasil
analisis data mengenai bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi
jual – beli pedagang etnis Cina. Pemerian tersebut didasarkan pada data yang
diperoleh meskipun tetap melibatkan interprestasi terhadap konteks yang
tersurat dan tersirat dalam data.
Penelitian ini juga
menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Karakteristik sosiolinguistik meliputi adanya
variasi bahasa, komunikasi bahasa dan masyarakat, serta budaya dan bahasa.
Pendekatan penelitian ini menitik beratkan pada kajian sosial yang mengungkapkan
bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi jual – beli pedagang etnis
Cina. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, mengutip
pendapat Muhadjir (1996:29) mengisyaratkan jika data penelitian berupa kualitas
bentuk-bentuk verbal yang berwujud tuturan. Tuturan yang menjadi data
penelitian ini terealisasi di dalam wacana interaksi jual – beli etnis Cina.
Sasaran penelitian ini
adalah wacana interaksi jual – beli pedagang etnis Cina, yang diduga terdapat
unsur alih kode dan campur kode. Campur kode dan alih kode yang terkandung di
dalamnya berwujud wacana yang digunakan dalam tuturan interaksi jual – beli pedagang
etnis Cina. Korpus data berupa wacana antara lain
(1) wacana interaksi jual beli pakaian
(3) wacana interaksi jual beli bahan kue
(4) wacana interaksi jual beli makanan
(5) wacana interaksi jual beli plastik
Sumber data dalam
penelitian ini yaitu wacana interaksi jual – beli pedagang etnis Cina dengan judul yang berbeda-beda, hal ini
dimaksudkan supaya terdapat uraian kebahasaan yang lebih lengkap dan cukup
untuk mewakili semua tuturan tersebut yang terdapat dalam campur kode. Korpus
data yang berupa tuturan antara lain :
(1) tuturan Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia
(2) tuturan Bahasa Indonesia – bahasa Cina
(3) tuturan Bahasa Inggris – Bahasa Jawa
(4) tuturan Bahasa Jawa – Bahasa Inggris
Data penelitian ini peneliti kumpulkan dengan teknik
simak. Dengan cara penyimakan terhadap tuturan pedagang etnis Cina. Ketika
mereka sedang melakukan aktivitasnya, peneliti turut serta sebagai bagian dalam
aktivitas tersebut yaitu sebagai konsumen. Dengan demikian, peneliti dapat
leluasa memperhatikan tuturan dalam tuturan dialog para pedagang, termasuk didalamnya
peneliti juga mempelajari situasi tutur yang sedang berlangsung. Dalam hal ini
penggunaan bahasa yang dimaksud adalah tuturan yang muncul dalam transaksi jual
– beli. Teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan teknik simak ini adalah
teknik sadap dan teknik catat.
Teknik sadap dilakukan dengan cara penyadapan
terhadap tuturan pedagang etnis Cina yang sedang berlangsung, hal ini dilakukan
agar peneliti mengerti konteks situasi yang menyertai dan tuturan tersebut.
Metode analisis data
penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk
mengungkap gejala-gejala atau keadaan yang terjadi pada subjek penelitian.
Keadaan yang akan dideskripsikan pada penelitian ini adalah bentuk dan faktor
terjadinya campur kode pada transaksi jual beli pedagang etnis Cina.
Setelah data didapat dan direkap menjadi
ujaran bentuk tulis, maka tahap berikutnya adalah tahap analisis data.
Pemnganalisisan data penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif.
Dimana data dijelaskan sesuai dengan teori campur kode. Setelah data dianalisis
maka kemudian diadakan penyimpulan hasil penelitian.
Setelah data pada tahap observasi, dan
penganalisisan terpenuhi dan penelitian
telah mendapatkan validasi atas kebenarannya. Analisis data dapat
dipaparkan dalam bentuk diskripsi.
PEMBAHASAN
4.1.1
Bentuk
Alih Kode
Pada hasil penelitian ditemukan alih kode pada
tuturan interaksi jual beli dengan pedagang etnis Cina berikut.
Konteks
: Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah
satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya
pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan
1
PEMBELI : “ Iya, yang ini ada yang merah, Om?”
PENJUAL : “ Wah, kalau yang itu adanya warna pink
sama ungu.”
PEMBELI : “Aduh, pink ya?”
PENJUAL : “Sik bentar. Nyo, jikukke kaya ngene sing
werna pink njajal.”
PENJUAL : “Lha ini. ini pinknya bagus og.”
Percakapan diatas tampak adanya alih kode yang dilakukan oleh penjual dari
bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa. Alih kode tersebut terjadi ketika sang
penjual berbicara pada pelayannya.
4.1.2
Campur
Kode
Pada hasil penelitian ditemukan alih
kode pada tuturan interaksi jual beli dengan pedagang etnis Cina berikut.
4.1.2.1
Campur
Kode kedalam
Pada penelitian ini ditemukan tipe
campur kode kedalam dimana terdapat penyisipan bahasa Jawa dengan bahasa
Indonesia. Campur kode kedalam yang telah ditemukan kemudian diklasifikasi oleh
peneliti sehingga diperoleh data:
4.1.2.1.1
Penyisipan
Bentuk Kata
Pada
wujud campur kode ini ditemukan penyisipan kata berbahasa Indonesia dalam ujaran berbahasa Jawa dan penyisipan
kata berbahasa Jawa dalam ujaran berbahasa Indonesia .
Konteks : Seorang
ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah satu model
baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya pada pedagang
adakah warna lain.
Kutipan 2
PEMBELI : “Ya, bentar tak milih dulu ya, Om.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut
menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut
disisipkan kata tak dari
bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Kutipan
3
PENJUAL : “Iya, wis
disini tu tak jamin bagus.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut
menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut
disisipkan kata wis dari
bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Kutipan
4
PEMBELI : “Cepek go ngo aja. Wong disini tu ambil untunge ngga banyak, paling 10000 – 15000.
Cuma buat komplit-komplit.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata wong dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode
kedalam berwujud kata.
Interaksi
jual beli dengan pedagang bahan roti juga ditemukan campur kode penyisipan
kata.
Konteks : Seorang
pembeli ingin membeli alat press. Harga yang ditawarkan oleh penjual sangat
tinggi, maka pembeli menawar harga alat tersebut. Namun harga alat press sudah
tidak dapat ditawar lagi.
Kutipan
5
PENJUAL : “Kalau sini adane yang kayak gini semua.
Di Carrefour sih ada yang 100000, tapi ga awet og. Tapi nek ini tak
jamin awet. Punyaku dulu sampe 7 tahun lho, tenan.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata nek, tak, dan tenan dari
bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Interaksi
jual beli dengan pedagang makanan ringan juga ditemukan campur kode penyisipan
kata.
Konteks : Seorang
pembeli ingin membeli makanan ringan di toko makanan ringan.
Kutipan
6
PENJUAL : “Banyak,
kari milih ni lho.”
Pada dasarnya kalimat
pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat
tersebut disisipkan kata ni (ini)
dan banyak dari bahasa Indonesia.
Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Kutipan
7
PENJUAL : “Sak plastike cemban aja lah.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata aja dari bahasa Indonesia. Hal ini menunjukan adanya campur
kode kedalam berwujud kata.
Interaksi
jual beli dengan pedagang makanan ringan juga ditemukan campur kode penyisipan
kata.
Konteks : Seorang
pembeli membeli satu slop plastik ukuran ¼ dengan ketebalan 0,3 di toko
plastik.
Kutipan
8
PENJUAL : “Sak slop gini?”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata gini dari bahasa Indonesia. Hal ini menunjukan adanya campur
kode kedalam berwujud kata.
Kutipan
9
PENJUAL : “Ni, susuke 8000 (delapan ribu) ya.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata susuke dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode
kedalam berwujud kata.
4.1.2.1.2
Penyisipan Bentuk Pengulangan
Pada wujud campur kode ini ditemukan penyisipan bentuk
pengulangan berbahasa Indonesia dalam
ujaran berbahasa Jawa.
Konteks : Seorang
pembeli ingin membeli makanan ringan di toko makanan ringan.
Kutipan 10
PEMBELI :
“ Cik, jajanmu sing unik-unik apa Cik?”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut
menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan
kata ulang unik-unik dari bahasa Indonesia.
Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud pengulangan kata.
4.1.2.1.3
Penyisipan Bentuk Baster
Pada wujud campur kode ini ditemukan penyisipan
bentuk baster berbahasa Indonesia dalam
ujaran berbahasa Jawa.
Konteks
: Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah
satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya
pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan
11
PEMBELI : “Cepek go ngo aja. Wong disini tu ambil untunge ngga banyak, paling 10000 –
15000. Cuma buat komplit-komplit.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan baster sufiks –e (bahasa Jawa) pada kata untung (bahasa Indonesia). Hal
ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud baster.
Interaksi
jual beli dengan pedagang bahan roti juga ditemukan campur kode penyisipan
baster.
Konteks : Seorang
pembeli ingin membeli makanan ringan di toko makanan ringan.
Kutipan
12
PENJUAL : “Kalau disini adane yang kayak gini semua. Di Carrefour ada yang 100000, tapi
nggak awet og. Tapi nek ini tak jamin awet. Punyaku dulu sampe 7 tahun lho,
tenan.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan baster sufiks –ne (bahasa Jawa)
pada kata ada (bahasa Indonesia). Hal ini menunjukan adanya campur kode
kedalam berwujud baster.
4.1.2.2
Campur
Kode keluar
Pada penelitian ini ditemukan tipe
campur kode keluar dimana terdapat penyisipan bahasa Inggris dengan bahasa
Indonesia dan bahasa Indonesia dengan bahasa inggris. Campur kode keluar yang
telah ditemukan kemudian diklasifikasi oleh peneliti sehingga diperoleh data:
4.1.2.2.1
Penyisipan
Bentuk Kata
Pada
wujud campur kode ini ditemukan penyisipan kata berbahasa Inggris dalam ujaran
berbahasa Jawa; penyisipan kata berbahasa cina dalam ujaran bahasa Indonesia;
penyisipan kata berbahasa Cina dalam ujaran bahasa Jawa dan penyisipan kata
berbahasa Inggris dalam ujaran berbahasa Indonesia .
Konteks :
Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah satu
model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya pada
pedagang adakah warna lain.
Kutipan 12
PENJUAL : “Wah kalau itu adanya yang warna pink sama ungu.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata pink dari bahasa Inggris.
Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan
13
PENJUAL : “Sik bentar. Nyo, jikukke kaya ngene
sing werna pink njajal.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata pink dari bahasa Inggris.
Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan
14
PEMBELI : “Cepek
go ngo aja. Wong disini tu ambil untunge ngga banyak, paling 10000 – 15000.
Cuma buat komplit-komplit.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata cepek go ngo dari bahasa Cina.
Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Interaksi
jual beli dengan pedagang makanan ringan juga ditemukan campur kode penyisipan
kata.
Kutipan
15
PENJUAL : “Sak plastike cemban aja lah.”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata cemban dari bahasa Cina.
Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan
16
PENJUAL : “Oke.
Iki tok?”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata oke dari bahasa Inggris.
Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan
17
PENJUAL : “Iya iya, mban mban kamsya”
Pada
dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam
ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata mban
mban kamsya dari bahasa Cina. Hal ini menunjukan adanya campur
kode keluar berwujud kata.
4.1.1
Faktor
Trejadinya Alih Kode
Konteks
: Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah
satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya
pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan
1
PEMBELI : “ Iya, yang ini ada yang merah, Om?”
PENJUAL : “ Wah, kalau yang itu adanya warna pink
sama ungu.”
PEMBELI : “Aduh, pink ya?”
PENJUAL : “Sik bentar. Nyo, jikukke kaya ngene sing
werna pink njajal.”
PENJUAL : “Lha ini. ini pinknya bagus og.”
Percakapan diatas
tampak adanya alih kode yang dilakukan
oleh penjual dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa. Alih kode tersebut
terjadi ketika sang penjual berbicara pada pelayannya. Penjual menggunakan
bahasa Indonesia ketika berbicara dengan pelanggan karena ingin menghormati
penjual, sedangkan Penjual menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan
pelayannya karena status sosialnya lebih rendah dari penjual.
Berdasarkan hasil pemaparan subab bentuk
campur kode dan alih kode peneliti dapat menyimpulkan faktor terjadinya campur
kode adalah faktor internal yakni sesorang meminjam kata dari bahasa lain
karena dorongan yang ada dalam dirinya. Penutur menggunakan kata dari
bahasa lain karena kata itu sudah sangat sering digunakan dan mudah diterima.
Kutipan 12
PENJUAL :
“Wah kalau itu adanya yang warna pink sama
ungu.”
Pada kutipan ujaran diatas terdapat
sisipan kata pink dari bahasa
Inggris. Kata pink berarti merah
muda, namun penutur tidak menggunakan kata merah muda karena dianggap terlalu
panjang. Warna merah muda selalu disebut warna pink karena lebih mudah dalam pengucapan.
Kutipan
16
PENJUAL : “Oke. Iki tok?”
Pada kutipan ujaran diatas terdapat
sisipan kata oke dari bahasa
Inggris. Kata oke dalam bahasa
Indonesia berarti iya. Peneliti menarik kesimpulan bahwa penutur menggunakan
kata oke karena kata tersebut sudah
sangat populer.
PENUTUP
Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian
yang telah di sampaikan di bagian depan serta uraian yang telah dijabarkan pada
bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
1)
Alih kode pada interaksi jual-beli
pedagang etnis Cina adalah alih kode bahasa.
2)
Campur kode dalam wacana interaksi
jual-beli pedagang etnis Cina terdapat dua bentuk, yakni campur kode kedalam dan
campur kode keluar. Campur kode kedalam berwujud (1) kata, (2)pengulangan kata,
dan (3) baster. Sementara itu campur kode keluar berwujud (1) kata yang mencakup bahasa Cina dan bahasa Inggris.
3)
Faktor terjadinya alih kode dan campur
kode pada interaksi jual-beli pedagang etnis Cina yaitu faktor internal.
Indrastuti, Novi Suci Kussuji. 1997. Jurnal Ilmiah :
Alih Kode dan Campur Kode dalam Siaran Radio. Universitas Gajah Mada:Yogyakarta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina.
1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Sutrisni, Sri.
2005. Tesis : Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Wacana Interaksi
Jual Beli Di Pasar Johar Semarang. Universitas Negeri
Semarang : Semarang
Nababan, P.W.J. 1993.
Sosiolinguistik Pengantar Awal. Jakarta : Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar