Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 18 Juli 2014

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM WACANA INTERAKSI JUAL BELI PEDAGANG ETNIS CINA


PENDAHULUAN

Bahasa sebagai alat komunikasi selalu mengalami perkembangan. Perkembangan bahasa dapat berupa perubahan atau pergeseran. Pergeseran bahasa dapat muncul sebagai akibat adanya faktor kebahasaan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat tutur yang terbuka, artinya, yang mempuntai hubungan dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa tersebut diantaranya adalah kedwibahasaan yang menyebabkan adanya alih kode dan campur kode.
Secara sosiolinguistik, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Masyarakat Jawa etnis Cina, seperti etnis lainnya, secara umum memiliki kemampuan berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Namun, terdapat keunikan pada tuturan etnis Cina yang berprofesi sebagai pedagang masih sering menggunakan bahasa Cina. Bahasa Cina yang dimaksud merupakan bahasa Cina dari harga barang dan jumlah barang. Hal ini menyebabkan terjadinya campur kode dan alih kode.


Sebagaimana yang telah diungkapkan pada latar belakang terdapat peristiwa campur kode dan alih kode pedagang etnis Cina. Penelitian ini memiliki pokok permasalahan yaitu:
1.        Bagaimana wujud alih kode dan campur kode transaksi jual beli pedagang etnis Cina?
2.        Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya campur kode dan alih kode transaksi jual beli pedagang etnis Cina?

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Memperoleh kejelasan deskriptif wujud alih kode dan campur kode transaksi jual beli pedagang etnis Cina.
2.      Memperoleh kejelasan deskriptif faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode transaksi jual beli pedagang etnis Cina.








LANDASAN TEORI

Pada penelitian ini, teori yang dijadikan sebagai dasar meliputi konsep-konsep tentang (1) Sosiolinguistik, (2) Kedwibahasaan, (3) Peristiwa tutur,  (4) alih kode, dan (5) campur kode

2.1.1   Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk mengetahui pengertian sosiolinguistik harus memahami makna sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada didalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Ada beberapa pendapat ahli mengenai sosiolinguistik, diantaranya:
Kridalaksana (1978:2), menyatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.
J.A. Fishman (1972:4),  menyatkan sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.

2.1.2   Kedwibahasaan
Istilah kedwibahasaan secara harfiah berarti penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa agar dapat menggunakan dua bahasa, seseorang harus menguasai bahasa itu. Pertama, seseorang harus menguasi bahasa ibunya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Namun pendapat dari ahli lain, yakni Haugen (1961) dwibahasawan tahu akan dua bahasa atau lebih, dan seorang dwibahasawan tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahsa itu, cukup kalau dapat memahaminya.
Kedwibahasaan adalah peristiwa pemakaian dua atau lebih bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Sedangkan individu yang melakukan penuturan dengan memakai dua bahasa atau lebih disebut dwibahasawan. Sedangkan pada proses pemerolehannya disebut dengan pendwibahasawan.

2.1.3      Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadi interaksi linguistik dalam suatu ujaran atau lebih, yang melibatkan dua pihak yakni penutur dan mitra tutur dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina,  2010: 47). Dalam peristiwa tutur Hymes memaparkan komponen tutur sebagai penentu pemakaian ragam bahasa.
Komponen tutur memiliki kaitan dengan sosiolinguistik, yakni berkenaan dengan siapa berbicara dalam bahasa apa, kepada siapa, tentang apa seperti ulasan berikut. Komponen tutur Hymes memiliki akronim SPEAKING, yakni (1) Setting and Scene, yang merarti segalahal yang berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. (2) Participants adalah phak-pihak yang terlibat dalam peraturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. (3) Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. (4) Act Sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. (5) Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan. (6) Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegram dan telfon. (7) Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi. (8) Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya. (Chaer dan Agustina, 2010 : 48-49).
2.1.5   Alih Kode
Pada dasarnya alih kode merupakan penggantian kode yang berupa bahasa atau ragam bahasa dari kode yang satu ke kode yang lain pada waktu seseorang bertutur. Menurut Kridalaksana (1984), pengertian penggantian yang dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan peran serta atau situasi lain. Dalam kenyataan sehari-hari, ternyata bahwa ragam bahasa lebih cenderung memakai alih kode, hal ini disebabkan oleh faktor kemudahan dalam mendiskripsi suatu peristiwa tutur dengan menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa tutur.

2.1.5.1  Campur Kode
Di dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya yang menggunakan bahasa tersebut, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Seorang penutur yang banyak menguasai bahasa akan mempunyai kesempatan bercampur kode lebih banyak daripada penutur yang hanya menguasai satu atau dua bahasa saja. Tetapi tidak berarti bahwa penutur yang menguasai lebih banyak bahasa selalu banyak bercampur kode. Sebab yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan kebahasaannya.
Ciri-ciri yang lain adanya gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip didalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya menduduki satu fungsi.
Beberapa ahli sosiolinguistik yang memberi batasan campur kode antara lain (Suwito 1985 : 76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Nababan (1984 : 32) menyatakan bahwa campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Adapun ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Misalnya ada seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa Indonesia banyak disisipi unsur-unsur bahasa Jawa / derah atau sebaliknya bahasa daerah yang disisipkan pada bahasa Indonesia. Maka seorang penutur tersebut bercampur kode ke dalam peristiwa tersebut, sehingga akan menimbulkan apa yang disebut bahasa Indonesia yang ke daerah-daerahan atau ke Jawa-Jawaan.
Campur kode memiliki dua tipe yaitu, campur kode kedalam (inner code mixing) dan campur kode keluar (outer code mixing) (Suwito, 1985: 76). Campur kode kedalam adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Campur kode keluar adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asing.

2.1.5.2  Macam-macam Campur Kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu : 1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, (2) penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, (3) penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster, (4) penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, (5) penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan, (6) penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Ø Berikut ini peristiwa wujud campur kode penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata:
  Mangka hari Senin ada tugas yang harus dikumpulkan.
Kata mangka menunjukkan bahasa Jawa sedangkan hari Senin ada tugas yang harus dikumpulkan menunjukkan kalimat bahasa Indonesia. Kalimat tersebut tergolong campur kode ke dalam karena seorang penutur menyisipkan unsur-unsur daerah ke dalam bahasa Indonesia. (Suwito 1978 : 78)
Ø Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa:
  Persahabatan saya sudah kadhung apik dengan dia.
Kode bahasa Jawa kadhung apik berwujud frasa, sedangkan sederetan kata yang lain menunjukkan kode bahasa Indonesia.
Ø Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster. Baster merupakan  hasil  perpaduan  dua  unsur  bahasa  yang  berbeda, membentuk satu  makna  (Suwito,  1985:76). Baster  adalah  bentuk  yang  tidak  asli,  artinya bentuk  ini  terjadi  karena  perpaduan  antara  afiksasi  bahasa  Indonesia  dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa lain, atau sebaliknya afiksasi dari bahasa lain yang dipadukan dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa Indonesia.  
  1. Unsur Baster Berwujud Prefiks
Prefiks  adalah  imbuhan  yang  diletakkan  di  bagian muka  kata.
Contoh :  Dia itu kalau ngedance keren banget.
  1. Unsur Baster Berwujud Sufiks
Sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian belakang kata dasar (Alwi, dkk., 2003 : 31).
Contoh : Ini dhuwitnya siapa ya?
Ø Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata:
  Kamu itu sudah dijelaskan masih tanya-tanya lagi.
Ø Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan
  Alon-alon ya Bu asal kelakon, nanti barang yang dicari
akan ketemu
Campur kode dengan unsur bahasa Jawa alon-alon asal kelakon
menunjukkan si penurut cukup kuat rasa kejawaannya atau identitas
pribadinya masyarakat Jawa.
Ø Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
 Pemimpin yang bijaksana akan bertindak ing ngarso sing tuladha ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani.





METODE PENELITIAN
Dalam bab ini dikemukakan (1) pendekatan penelitian, (2) data dan sumber data, (3) teknik pengumpulan data, (4) teknik analisis data, dan (5) teknik penyajian hasil analisis data.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan maksud untuk memberikan hasil analisis data mengenai bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi jual – beli pedagang etnis Cina. Pemerian tersebut didasarkan pada data yang diperoleh meskipun tetap melibatkan interprestasi terhadap konteks yang tersurat dan tersirat dalam data.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Karakteristik sosiolinguistik meliputi adanya variasi bahasa, komunikasi bahasa dan masyarakat, serta budaya dan bahasa. Pendekatan penelitian ini menitik beratkan pada kajian sosial yang mengungkapkan bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi jual – beli pedagang etnis Cina. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, mengutip pendapat Muhadjir (1996:29) mengisyaratkan jika data penelitian berupa kualitas bentuk-bentuk verbal yang berwujud tuturan. Tuturan yang menjadi data penelitian ini terealisasi di dalam wacana interaksi jual – beli etnis Cina.

Sasaran penelitian ini adalah wacana interaksi jual – beli pedagang etnis Cina, yang diduga terdapat unsur alih kode dan campur kode. Campur kode dan alih kode yang terkandung di dalamnya berwujud wacana yang digunakan dalam tuturan interaksi jual – beli pedagang etnis Cina. Korpus data berupa wacana antara lain
(1) wacana interaksi jual beli pakaian
(3) wacana interaksi jual beli bahan kue
(4) wacana interaksi jual beli makanan
(5) wacana interaksi jual beli plastik
Sumber data dalam penelitian ini yaitu wacana interaksi jual – beli pedagang etnis Cina  dengan judul yang berbeda-beda, hal ini dimaksudkan supaya terdapat uraian kebahasaan yang lebih lengkap dan cukup untuk mewakili semua tuturan tersebut yang terdapat dalam campur kode. Korpus data yang berupa tuturan antara lain :
(1) tuturan Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia
(2) tuturan Bahasa Indonesia – bahasa Cina
(3) tuturan Bahasa Inggris  – Bahasa Jawa
(4) tuturan Bahasa Jawa – Bahasa Inggris

Data penelitian ini peneliti kumpulkan dengan teknik simak. Dengan cara penyimakan terhadap tuturan pedagang etnis Cina. Ketika mereka sedang melakukan aktivitasnya, peneliti turut serta sebagai bagian dalam aktivitas tersebut yaitu sebagai konsumen. Dengan demikian, peneliti dapat leluasa memperhatikan tuturan dalam tuturan dialog para pedagang, termasuk didalamnya peneliti juga mempelajari situasi tutur yang sedang berlangsung. Dalam hal ini penggunaan bahasa yang dimaksud adalah tuturan yang muncul dalam transaksi jual – beli. Teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan teknik simak ini adalah teknik sadap dan teknik catat.
Teknik sadap dilakukan dengan cara penyadapan terhadap tuturan pedagang etnis Cina yang sedang berlangsung, hal ini dilakukan agar peneliti mengerti konteks situasi yang menyertai dan tuturan tersebut.

Metode analisis data penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk mengungkap gejala-gejala atau keadaan yang terjadi pada subjek penelitian. Keadaan yang akan dideskripsikan pada penelitian ini adalah bentuk dan faktor terjadinya campur kode pada transaksi jual beli pedagang etnis Cina.
 Setelah data didapat dan direkap menjadi ujaran bentuk tulis, maka tahap berikutnya adalah tahap analisis data. Pemnganalisisan data penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Dimana data dijelaskan sesuai dengan teori campur kode. Setelah data dianalisis maka kemudian diadakan penyimpulan hasil penelitian.


Setelah data pada tahap observasi, dan penganalisisan terpenuhi dan penelitian telah mendapatkan validasi atas kebenarannya. Analisis data dapat dipaparkan dalam bentuk diskripsi.




















PEMBAHASAN

4.1.1        Bentuk Alih Kode
Pada hasil penelitian ditemukan alih kode pada tuturan interaksi jual beli dengan pedagang etnis Cina berikut.
Konteks : Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan 1
PEMBELI    : “ Iya, yang ini ada yang merah, Om?”
PENJUAL    : “ Wah, kalau yang itu adanya warna pink sama ungu.”
PEMBELI    : “Aduh, pink ya?”
PENJUAL    : “Sik bentar. Nyo, jikukke kaya ngene sing werna pink njajal.”
PENJUAL    : “Lha ini. ini pinknya bagus og.”
Percakapan diatas tampak adanya  alih kode yang dilakukan oleh penjual dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa. Alih kode tersebut terjadi ketika sang penjual berbicara pada pelayannya.

4.1.2        Campur Kode
Pada hasil penelitian ditemukan alih kode pada tuturan interaksi jual beli dengan pedagang etnis Cina berikut.
4.1.2.1       Campur Kode kedalam
Pada penelitian ini ditemukan tipe campur kode kedalam dimana terdapat penyisipan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Campur kode kedalam yang telah ditemukan kemudian diklasifikasi oleh peneliti sehingga diperoleh data:

4.1.2.1.1     Penyisipan Bentuk Kata
Pada wujud campur kode ini ditemukan penyisipan kata berbahasa Indonesia  dalam ujaran berbahasa Jawa dan penyisipan kata berbahasa Jawa dalam ujaran berbahasa Indonesia .
Konteks : Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan 2
PEMBELI    : “Ya, bentar tak milih dulu ya, Om.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata tak dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Kutipan 3
PENJUAL    : “Iya, wis disini tu tak jamin bagus.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata wis dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Kutipan 4
PEMBELI      : “Cepek go ngo aja. Wong disini tu ambil untunge ngga banyak, paling 10000 – 15000. Cuma buat komplit-komplit.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata wong dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Interaksi jual beli dengan pedagang bahan roti juga ditemukan campur kode penyisipan kata.
Konteks : Seorang pembeli ingin membeli alat press. Harga yang ditawarkan oleh penjual sangat tinggi, maka pembeli menawar harga alat tersebut. Namun harga alat press sudah tidak dapat ditawar lagi.
Kutipan 5
PENJUAL      : “Kalau sini adane yang kayak gini semua. Di Carrefour sih ada yang 100000, tapi ga awet og. Tapi nek ini tak jamin awet. Punyaku dulu sampe 7 tahun lho, tenan.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata nek, tak, dan tenan dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Interaksi jual beli dengan pedagang makanan ringan juga ditemukan campur kode penyisipan kata.
Konteks : Seorang pembeli ingin membeli makanan ringan di toko makanan ringan.
Kutipan 6
PENJUAL      : “Banyak, kari milih ni lho.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata ni (ini) dan banyak dari bahasa Indonesia. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Kutipan 7
PENJUAL      : “Sak plastike cemban aja lah.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata aja dari bahasa Indonesia. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Interaksi jual beli dengan pedagang makanan ringan juga ditemukan campur kode penyisipan kata.
Konteks : Seorang pembeli membeli satu slop plastik ukuran ¼ dengan ketebalan 0,3 di toko plastik.
Kutipan 8
PENJUAL      : “Sak slop gini?”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata gini dari bahasa Indonesia. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.
Kutipan 9
PENJUAL      : “Ni, susuke 8000 (delapan ribu) ya.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata susuke dari bahasa Jawa. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud kata.

4.1.2.1.2     Penyisipan Bentuk Pengulangan
Pada wujud campur kode ini ditemukan penyisipan bentuk pengulangan berbahasa Indonesia  dalam ujaran berbahasa Jawa.
Konteks : Seorang pembeli ingin membeli makanan ringan di toko makanan ringan.
Kutipan 10
PEMBELI       : “ Cik, jajanmu sing unik-unik apa Cik?”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata ulang unik-unik dari bahasa Indonesia. Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud pengulangan kata.

4.1.2.1.3     Penyisipan Bentuk Baster
Pada wujud campur kode ini ditemukan penyisipan bentuk baster berbahasa Indonesia  dalam ujaran berbahasa Jawa.
Konteks : Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan 11

PEMBELI      : “Cepek go ngo aja. Wong disini tu ambil untunge ngga banyak, paling 10000 – 15000. Cuma buat komplit-komplit.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan baster sufiks –e (bahasa Jawa) pada kata untung (bahasa Indonesia). Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud baster.
Interaksi jual beli dengan pedagang bahan roti juga ditemukan campur kode penyisipan baster.
Konteks : Seorang pembeli ingin membeli makanan ringan di toko makanan ringan.
Kutipan 12
PENJUAL      : “Kalau disini adane yang kayak gini semua. Di Carrefour ada yang 100000, tapi nggak awet og. Tapi nek ini tak jamin awet. Punyaku dulu sampe 7 tahun lho, tenan.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan baster sufiks –ne (bahasa Jawa) pada kata ada (bahasa Indonesia). Hal ini menunjukan adanya campur kode kedalam berwujud baster.

4.1.2.2       Campur Kode keluar
Pada penelitian ini ditemukan tipe campur kode keluar dimana terdapat penyisipan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia dengan bahasa inggris. Campur kode keluar yang telah ditemukan kemudian diklasifikasi oleh peneliti sehingga diperoleh data:

4.1.2.2.1     Penyisipan Bentuk Kata
Pada wujud campur kode ini ditemukan penyisipan kata berbahasa Inggris dalam ujaran berbahasa Jawa; penyisipan kata berbahasa cina dalam ujaran bahasa Indonesia; penyisipan kata berbahasa Cina dalam ujaran bahasa Jawa dan penyisipan kata berbahasa Inggris dalam ujaran berbahasa Indonesia .
Konteks : Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan 12
PENJUAL      : “Wah kalau itu adanya yang warna pink sama ungu.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata pink dari bahasa Inggris. Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan 13
PENJUAL      : “Sik bentar. Nyo, jikukke kaya ngene sing werna pink njajal.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata pink dari bahasa Inggris. Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan 14
PEMBELI      : “Cepek go ngo aja. Wong disini tu ambil untunge ngga banyak, paling 10000 – 15000. Cuma buat komplit-komplit.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata cepek go ngo dari bahasa Cina. Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Interaksi jual beli dengan pedagang makanan ringan juga ditemukan campur kode penyisipan kata.
Kutipan 15
PENJUAL      : “Sak plastike cemban aja lah.”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata cemban dari bahasa Cina. Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan 16
PENJUAL      : “Oke. Iki tok?”
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Jawa. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata oke dari bahasa Inggris. Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.
Kutipan 17
PENJUAL      : “Iya iya, mban mban kamsya
Pada dasarnya kalimat pada ujaran tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam ujaran pada kalimat tersebut disisipkan kata mban mban kamsya dari bahasa Cina. Hal ini menunjukan adanya campur kode keluar berwujud kata.

4.1.1   Faktor Trejadinya Alih Kode
Konteks : Seorang ibu ingin membeli baju disebuah toko. Sang ibu tertarik pada salah satu model baju, namun menginginkan warna yang lain. Maka sang ibu bertanya pada pedagang adakah warna lain.
Kutipan 1
PEMBELI    : “ Iya, yang ini ada yang merah, Om?”
PENJUAL    : “ Wah, kalau yang itu adanya warna pink sama ungu.”
PEMBELI    : “Aduh, pink ya?”
PENJUAL    : “Sik bentar. Nyo, jikukke kaya ngene sing werna pink njajal.”
PENJUAL    : “Lha ini. ini pinknya bagus og.”
Percakapan diatas tampak adanya  alih kode yang dilakukan oleh penjual dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa. Alih kode tersebut terjadi ketika sang penjual berbicara pada pelayannya. Penjual menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan pelanggan karena ingin menghormati penjual, sedangkan Penjual menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan pelayannya karena status sosialnya lebih rendah dari penjual.

Berdasarkan hasil pemaparan subab bentuk campur kode dan alih kode peneliti dapat menyimpulkan faktor terjadinya campur kode adalah faktor internal yakni sesorang meminjam  kata  dari  bahasa  lain karena  dorongan yang ada dalam dirinya. Penutur menggunakan kata dari bahasa lain karena kata itu sudah sangat sering digunakan dan mudah diterima.
Kutipan 12
PENJUAL         : “Wah kalau itu adanya yang warna pink sama ungu.”
Pada kutipan ujaran diatas terdapat sisipan kata pink dari bahasa Inggris. Kata pink berarti merah muda, namun penutur tidak menggunakan kata merah muda karena dianggap terlalu panjang. Warna merah muda selalu disebut warna pink karena lebih mudah dalam pengucapan.
Kutipan 16
          PENJUAL         : “Oke. Iki tok?”
Pada kutipan ujaran diatas terdapat sisipan kata oke dari bahasa Inggris. Kata oke dalam bahasa Indonesia berarti iya. Peneliti menarik kesimpulan bahwa penutur menggunakan kata oke karena kata tersebut sudah sangat populer.








                        BAB 5
PENUTUP

Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah di sampaikan di bagian depan serta uraian yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
1)        Alih kode pada interaksi jual-beli pedagang etnis Cina adalah alih kode bahasa.
2)        Campur kode dalam wacana interaksi jual-beli pedagang etnis Cina terdapat dua bentuk, yakni campur kode kedalam dan campur kode keluar. Campur kode kedalam berwujud (1) kata, (2)pengulangan kata, dan (3) baster. Sementara itu campur kode keluar berwujud (1) kata yang  mencakup bahasa Cina dan bahasa Inggris.
3)        Faktor terjadinya alih kode dan campur kode pada interaksi jual-beli pedagang etnis Cina yaitu faktor internal.





         



Indrastuti, Novi Suci Kussuji. 1997. Jurnal Ilmiah : Alih Kode dan Campur Kode dalam Siaran Radio. Universitas Gajah Mada:Yogyakarta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Sutrisni, Sri. 2005. Tesis : Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Wacana Interaksi Jual Beli Di Pasar Johar Semarang. Universitas Negeri Semarang : Semarang
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Jakarta : Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar